BUDAYA POSITIF

 

KONEKSI ANTAR MATERI – MODUL 1.4

Dtitulis oleh: Khawadits, S.Pd, CGP angkatan 5

Kabupaten Siak

 

Mendidik di era modern memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Kekurangannya adalah bahwa para murid yang kita ajarkan sudah terlebih dahulu mengetahui materi yang akan disampaikan oleh gurunya. Dengan demikian sebagian murid cenderung cuek dan tidak hormat terhadap gurunya karena mereka merasa sudah menguasai materi. Sisi baiknya adalah bahwa dengan pesatnya teknologi yang serba mutakhir membuat guru semakin mudah dalam mengaplikasiakn ilmunya. Dengan usaha sedikit saja para guru lebih bisa berkreasi dengan media-media yang ada.

 Pelan namun pasti saya telah sampai pada modul 1.4 tentang penerapan budaya positif. Budaya positif merupakan perwujudan dari nilai-nilai atau keyakinan universal yang diterapkan di sekolah. Budaya positif diawali dengan perubahan paradigma tentang teori kontrol. Selama ini barangkali kita sebagai guru merasa berkewajiban mengontrol perilaku siswa agar memiliki perilaku sesuai yang guru harapkan. Namun dalam perjalanannya, para guru harus mampu beradaptasi dengan karakter dasar dari para muridnya. Guru harus mampu membangkitkan motivasi para muridnya. Tentu motivasi terbaik adalah motivasi yang berasal dari dalam diri sendiri (intrinsik).

Ki Hadjar Dewantara pernah menuliskan, Ing ngarso sung tulodo. Kalimat itu sangatlah besar pengaruhnya bagi proses pematangan dalam dunia pendidikan. Jika guru kencing berdiri, murid akan kencing berlari. Istilah itu bukan tanpa alasan. Sebagai pendidik sudah barang tentu akan menjadi pusat perhatian seluruh mata murid. Ketika guru berbuat baik, harapannya murid akan meniru dan melaksanakan dalam kehidupan nyata mereka. System among itulah yang hendaknya dapat kita wujudkan sehingga pendidikan Indonesia benar-benar berpihak pada murid.

Sebelum saya membaca modul 1.4 dalam bimtek ini, saya mengira bahwa reward and punishment adalah sesuatu yang lumrah dan perlu dilestarikan. Namun ternyata dampak negatiflah yang akan ditimbulkan dari cara tersebut. Biasanya guru akan memberikan hadiah kepada muridnya setelah mengerjakan perintah gurunya. Namun ketika guru sesekali tidak memberi reward, maka murid tersebuat akan bermalas-malasan. Akhirnya kebiasaan yang terbangun adalah budaya negatif. Siswa tidak memiliki kesadaran penuh dalam beraktifitas.

Hal lain juga menjadi fokus saya dalam refleksi ini, karena untuk merubah kebiasaan yang sudah turun-temurun tentulah tidak mudah. Dengan adanya materi ini terbukalah cakrawala saya dalam menemukan arah dan tujuan pendidikan Indonesia. Apabila ada murid yang melakukan suatu pelanggaran budaya potif disekolah, kami tidak lagi melakukan tindakan menghukum seperti yang kami mlakukan sebelumnya. Kami lebih mengutamakan pendekatan restitusi. Sehingga perubahan yang yang terjadi pada murid bukan karena iming-iming atau paksaan dari luar, tetapi kesadaran dari dalam diri mereka. Murid yang bersalah dapat kembali belajar dengan temannya dan lebih semangat lagi dalam menegakkan keyakinan kelas.

 

Komentar